Reporter : Muhammad Editor : Redaksi
Insitekaltim, Bontang – Kota Bontang menduduki peringkat pertama untuk urusan pengangguran di Kaltim. Kandidat calon wali kota Bontang nomor urut 2 Neni Moerniaeni memberi jawaban atas persoalan ini.
Tanggapan itu ia sampaikan terkait angka yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim pada tahun 2017, dimana angka pengangguran tertinggi di Kaltim ada di Kota Bontang sebesar 12,44 persen.
Neni mengatakan tahun 2017 angka pengangguran di Kota Bontang sebesar 12,44 persen. Sebagai wali kota Bontang, dirinya terus berupaya menurunkan angka pengangguran.
“Pada tahun 2017 angka penganguran mencapai 12,44 persen. Alhamdulillah setelah saya menjadi wali kota bisa menurunkan angka pengangguran di Kota Bontang menjadi 9,19 persen,” ungkapnya saat melakukan konferensi pers usai Debat Pilkada Bontang 2020 di Hotel Mercure Samarinda, Rabu (18/11/2020) malam.
Penurunan angka tersebut hasil dari komitmen memberdayakan pekerja lokal dan mencari investor untuk investasi di Kota Bontang.
“Menurunkan angka pengangguran itu tidak mudah. Namun saya lihat bahwa penurunan angka pengangguran dibanding daerah lain memang persentase Bontang masih di urutan pertama di tahun 2019,” ujarnya.
Pemerintah daerah dan DPRD kota Bontang telah membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2018 terkait tenaga kerja. Dalam pasal 24 ayat 1 tentang rekrutmen ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan mempekerjakan 75 persen untuk tenaga kerja lokal.
“Dalam peraturan daerah itu memang sudah ditekankan bagi pemberi kerja harus mempekerjakan tenaga kerja lokal dan ini menjadi kewajiban bagi mereka,” katanya.
Dia juga menegaskan bahwa, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen, maka angka pengangguran akan berkurang sebanyak 400 orang.
Saat ini, sudah berjalan beberapa proyek besar. Ada pabrik pengolahan kelapa sawit dan pembangkit listrik tenaga uap. Di dua lokasi itu, 75 persen adalah tenaga kerja lokal. Neni menambahkan, saat ini sebanyak 80 persen kawasan Kota Bontang adalah kawasan perusahaan dan industri.
“Masih ada juga saat ini proyek pembangunan Bontang City Mall, penyerapan tenaga kerja lokal untuk pembangunan mal tersebut cukup tinggi. Ini pasti mengurangi angka pengangguran,” kata Neni.
Sementara itu, Kepala Bidang Produktivitas, Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja (P3TK) Dinas Ketenagakerjaan Bontang Usman menjelaskan tren pengangguran yang saat ini berhasil ditekan.
Mengacu dari data Badan Pusat Statistik Kota Bontang pada 2017 tingkat pengangguran 12,44 persen. Pada tahun 2018 penggangguran turun menjadi 9,61 dan tahun 2019 kembali turun menjadi 9.19.
Upaya menekan angka pengangguran di Bontang mulai massif sejak 2018 lalu. Disnaker Bontang pun telah bekerja sama dengan lima Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) di Indonesia. Selain balai pelatihan, Disnaker pun bekerja sama dengan PT Badak LNG dan PT Pupuk Kaltim.
“Dengan adanya dukungan dari pemerintah dalam pelatihan kerja dan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja dalam kurun tiga tahun terakhir berhasil menekan angka pengangguran,” sebutnya.
Menurut Usman angkatan kerja di Bontang tinggi karena banyak pendatang dari luar daerah. Di samping itu, Bontang menjadi kota yang nyaman bagi pendatang lantaran diisi dari beragam etnis berbagai daerah.
“Kota industri ini memang menjadi daya tarik bagi calon pekerja. Dan ramah bagi yang pendatang misalnya dari Sulawesi. Setelah di Bontang mereka mengajak lagi keluarganya,” ujarnya.
Selain itu, alasan mendasar lainnya yakni banyaknya penduduk tetangga masuk ke Bontang demi mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan. Pelayanan kesehatan yang lebih unggul dibanding dengan daerah lainnya. Apalagi pelayanan administrasi yang lebih mudah dijangkau menjadi faktor pemicu banyaknya pendatang.
Sejumlah warga luar Bontang mengantongi KTP Bontang. Mereka bisa saja terdata sebagai penggangguran asal Bontang lantaran memiliki KTP. Tapi sebenarnya domisilinya berada di luar daerah.
“Nah kan banyak juga warga luar yang memiliki KTP Bontang, alasan mereka karena di Bontang lebih mudah mengakses layanan kesehatan dan pendidikan,” ungkapnya.
Menurut Usman, ada pekerja informal mengaku tak bekerja. Padahal sehari-hari mereka berprofesi sebagai pedagang, petani ataupun nelayan. Paradigma bekerja artinya beraktivitas di industri masih kental di masyarakat Bontang.
“Semisal ia tidak ingin bekerja di bawah standarisasi perusahaan. Seperti yang biasa menjadi tukang, tidak mau kerja kasar-kasar,” tuturnya.