Insitekaltim, Samarinda – Program Studi Tari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Mulawarman (Unmul) menggelar kuliah umum bertajuk Identitas Tari Pedalaman Kalimantan Timur di Aula FIB, Selasa, 23 September 2025. Kegiatan ini menghadirkan maestro tari sekaligus pemangku adat, Frans Jiu Luay, yang dikenal luas sebagai seniman dan budayawan tari pedalaman Kalimantan Timur.
Kaprodi Tari FIB Unmul, Eka Yusriansyah menjelaskan bahwa kuliah umum ini menjadi bagian dari misi akademik jurusan untuk menghadirkan langsung sumber-sumber otentik dari pelaku seni. Menurutnya, Prodi Tari Unmul fokus pada tiga pilar budaya: pesisir, pedalaman, serta keraton atau kerajaan.
“Alhamdulillah kali ini kami bisa menghadirkan maestro tari khususnya dari pedalaman Kalimantan Timur. Harapannya, mahasiswa memahami bahwa menari bukan sekadar pertunjukan, melainkan simbol identitas yang menyimpan pesan, nilai historis, filosofis, dan budaya dari komunitas, khususnya masyarakat Dayak Kaltim,” ungkapnya.
Dalam pemaparannya, Frans Jiu Luay menekankan bahwa dasar kehidupan masyarakat adat tidak bisa dilepaskan dari adat istiadat. Adat, menurutnya, merupakan wujud nilai-nilai kepercayaan yang mengatur hubungan manusia dengan leluhur, alam, dan hal-hal yang nyata maupun tidak nyata. Dari adat kemudian lahirlah hukum adat, tradisi, hingga budaya yang diwariskan lintas generasi.
“Adat itu kaya dengan muatan dan sanksi. Dari sana muncul hukum, lalu berkembang menjadi tradisi. Inilah yang harus dijaga agar identitas budaya tidak hilang meski ada pergeseran zaman. Keberagaman kita adalah kekayaan luar biasa yang mungkin tidak dimiliki bangsa lain,” tutur Frans.
Ia menambahkan, seni dalam kehidupan masyarakat adat tidak pernah berdiri sendiri. Seni merupakan bagian dari siklus kehidupan yang mengandung muatan etika, estetika, nilai historis, dan filosofis. Tari, khususnya tari pedalaman, selalu menyampaikan pesan dan kesan yang mendalam.
Frans juga menegaskan pentingnya membedakan antara karya dan kreasi dalam tari. Gerakan dan pola yang murni disebut karya, sementara pengolahan yang menggabungkan elemen-elemen tari tradisi sebaiknya disebut kreasi atau kolaborasi.
“Boleh saja kita berkreasi, tapi jangan sampai melupakan akar budaya. Karena yang terpenting adalah pesan yang ditinggalkan dari setiap tarian itu,” ujarnya.
Kuliah umum ini mendapat perhatian besar dari mahasiswa, dosen, dan pegiat seni tari di Samarinda. Kehadiran Frans Jiu Luay dinilai memperkaya wawasan akademik sekaligus menguatkan kesadaran mahasiswa tentang pentingnya menjaga identitas budaya, terutama tari pedalaman Kalimantan Timur, di tengah arus globalisasi.