Insitekaltim, Samarinda – Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kalimantan Timur (Kaltim) masih berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratih Rachmawati mengungkapkan bahwa sebanyak 12 anak menjadi korban TPPO di Kaltim sepanjang Januari hingga Oktober 2025.
Data tersebut dihimpun melalui SIMFONI PPA, sistem pendataan nasional yang dikelola Kemen PPPA, dan ditangani oleh UPTD PPA Provinsi Kaltim.
Ratih menyebutkan bahwa Balikpapan merupakan daerah dengan kasus TPPO tertinggi pada periode 2020 hingga Januari 2024. Sementara Samarinda mencatat peningkatan signifikan sepanjang 2024 hingga 2025, termasuk satu kasus dugaan TPPO terhadap remaja yang kini masih dalam penanganan.
“Korban terbanyak adalah perempuan dan anak karena dianggap lebih mudah dipengaruhi dan dipindahkan. Kondisi ekonomi sering dimanfaatkan pelaku dengan menawarkan pekerjaan berisiko tinggi tanpa prosedur legal,” ujar Ratih, Kamis, 4 Desember 2025.
Menurut Ratih, peningkatan kasus TPPO didorong dua faktor utama, yakni faktor penarik seperti peluang ekonomi, dan faktor pendorong seperti rendahnya pendidikan serta lemahnya perlindungan keluarga dan komunitas. Modus kejahatan pun semakin berkembang mengikuti perubahan teknologi.
“Jika dulu rekrutmen dilakukan secara langsung, kini pelaku memanfaatkan jaringan digital dan media sosial. Mereka menawarkan pekerjaan palsu seperti admin media online, magang luar negeri, hingga program pelajar fiktif,” tegasnya.
Meski struktur Gugus Tugas TPPO telah terbentuk, Ratih menilai masih banyak OPD yang belum memahami tugas dan fungsinya dalam mekanisme penanganan. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat proses pendampingan korban dan penegakan hukum.
Pemerintah, lanjutnya, terus memperkuat kebijakan penanganan melalui UU Nomor 21 Tahun 2007, Perpres Nomor 49 Tahun 2023 tentang Gugus Tugas TPPO, serta penyusunan Rencana Aksi Nasional TPPO 2025–2029 untuk merespons perkembangan modus perdagangan manusia.
“Kami berharap seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah, DP3A, kepolisian, dan masyarakat dapat memperkuat pencegahan berbasis komunitas, agar tidak ada lagi korban berikutnya,” pungkasnya.

