Insitekaltim,Samarinda – Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (FH Unmul) Samarinda melaksanakan diskusi publik dan sosialisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi, Jumat (12/7/2024).
Dalam kegiatan itu, dihadirkan beberapa narasumber yang mengkritisi revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, dalam sosialisasi ini dibahas mengenai KPK yang tengah membuka pendaftaran bagi calon pimpinan (capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Pendaftaran ini telah dibuka sejak 26 Juni dan ditutup 25 Juli 2024 mendatang.
Seleksi capim dan Dewas KPK ini menyusul berakhirnya masa jabatan pimpinan dan Dewas KPK aktif pada 20 Desember 2024. Hal tersebut tengah hangat dan mendapat banyak perhatian kelompok sipil.
Akademisi FH Unmul Sholihin Bone membawakan sosialisasi terkait politik hukum dan pemberantasan korupsi. Ia menjelaskan bahwa lembaga KPK lahir di masa bangsa Indonesia mengalami gejolak korupsi yang tidak dapat ditangani.
“Tahun 2002 lahirlah KPK dan menjadi tumpuan bagi masyarakat kita memberantas korupsi. Sudah sedemikian rupa kalutnya,” jelas Bone sapaan akrabnya.
Setelah melihat kinerja KPK dari tahun ke tahun, Bone mengungkapkan banyak kasus di mana orang-orang yang berada di bawah naungan KPK kerap kali disandera dan terus-menerus mendapat cegatan dari berbagai pihak yang terlibat jalur-jalur haram korupsi.
“Kita ingat persoalan yang menyeret KPK itu seperti ada cicak vs buaya. Banyak upaya yang ingin menggembosi upaya KPK untuk memberantas korupsi,” tuturnya.
Berlangsungnya pendaftaran capim dan Dewas KPK saat ini, diharapkan Bone agar masyarakat sipil untuk turut mengawasi dan memberikan rekomendasi. Misal saja dari putra-putri daerah Kalimantan Timur yang punya kemampuan dan integritas untuk menduduki posisi tersebut.
“Sarannya sih untuk memilih pemimpin KPK yang ideal yang cukup umur. Dulu 40 tahun, sekarang 50 tahun. Saya lihat usia 40 tahun itu sudah matang,” katanya.
Sementara itu, Tranparency International Indonesia Izza Akbarani menyebutkan berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 2023, Indonesia memiliki skor 34 dari 100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei.
Melihat ini, Izza mengatakan bahwa skor tersebut mencerminkan kinerja terburuk KPK sejak terbentuk dan skor itu juga bertahan dua tahun berturut-turut. Ini mencerminkan bahwa pemerintah tidak menganggap serius kasus korupsi.
“Angka 34 ini tetap terjadi di 2023 dan ini menjadi cermin bahwa pemerintah tidak ingin ada perbaikan dan tidak melakukan perbaikan,” ujarnya.
Dirinya menegaskan kemerosotan ini juga dampak dari revisi UU KPK yang sangat berimplikasi bagi kinerja lembaga KPK baik secara internal dan eksternal. Izza mengingatkan kembali kenangan buruk di tahun 2019 lalu yang menyita perhatian masyarakat untuk menggulingkan revisi UU KPK.
“Ada demo besar-besaran kala itu dan revisinya tetap diketok (disahkan) dan dampaknya sampai sekarang,” tegas Izza.
Ia mendorong seluruh pihak, termasuk akademisi dan mahasiswa Unmul turut mengkritisi pencalonan pimpinan dan Dewas KPK agar hanya yang berkualitas dan berintegritas yang terpilih.
Di sisi lain, Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul Orin Gusta Andini menyampaikan pada tahun 2019 lalu, akademisi dan mahasiswa Unmul banyak yang turun ke jalan untuk berunjuk rasa atas diketoknya revisi UU KPK.
Setelah banyaknya aksi-aksi unjuk rasa di seluruh penjuru nusantara, pemerintah disebutkan Orin bergeming dan mempertahankan kecamuk masyarakat berjalan bersama revisi ini.
“kita lihat pembentukan UU yang tidak menguntungkan rakyat, maka pasti ada jalur korupsi di dalamnya,” katanya.
Orin menjelaskan bahwa pascarevisi UU KPK 2019 ini, KPK dimasukan ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang membuat KPK tak lagi menjadi lembaga yang independen.
“Sekarang mereka sudah ada yang ASN dan ini bisa saja ada intervensi-intervensi dari pemerintah untuk pemberantasan,” kata Orin.
Kemudian, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional Gina Sabrina tak ingin membuat masyarakat semakin pesimis atas kasus-kasus korupsi yang terus memanas di Indonesia, ia menekankan bahwa saat ini adalah momentumnya.
Momentum yang ia maksud adalah dibukanya pendaftaran capim dan Dewas KPK. Ini menjadi harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin baru yang berkualitas ke depannya.
Ia mengajak seluruh pihak, terutama akademisi, aktivis, mahasiswa dapat memberikan usulan nama baik dari masyarakat ataupun alumni yang memiliki kualifikasi untuk mengisi struktur tertinggi di KPK.
“Jangan sampai lagi ada nama-nama yang problematik. Jangan lagi terulang di masa depan, kita berikhtiar, ada Allah yang menentukan dan tapi ada juga DPR dan presiden yang ikut menentukan,” tutup Gina.