
Insitekaltim, Samarinda – Banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Kota Samarinda baru-baru ini memantik keprihatinan mendalam dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur.
Peristiwa ini dinilai bukan semata akibat cuaca ekstrem, melainkan sebagai bukti kegagalan pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup yang selama ini belum tertangani secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Hujan deras yang mengguyur ibu kota Provinsi Kalimantan Timur pada Senin, 12 Mei 2025 memicu banjir di berbagai kawasan. Kecamatan Loa Janan Ilir tercatat sebagai salah satu wilayah terdampak paling parah. Puluhan rumah warga terendam selama berhari-hari, bahkan akses utama seperti Jalan HM Rifadin sempat lumpuh akibat tingginya genangan dan kemacetan parah yang tak terhindarkan.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim Darlis Pattalongi mengungkapkan bahwa peristiwa banjir ini harus dilihat lebih dalam, bukan hanya sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi. Ia menyatakan bahwa kejadian tersebut mencerminkan lemahnya sistem tata kelola kota yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah daerah.
“Ini bukan lagi soal cuaca semata. Ini adalah cermin dari persoalan yang dibiarkan berlarut-larut. Setiap musim hujan, Samarinda selalu menjadi langganan banjir. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua bahwa pendekatan saat ini sudah tidak relevan lagi,” ujar Darlis kepada awak media pada Jumat, 23 Mei 2025.
Menurutnya, sebagai ibu kota provinsi, Samarinda seharusnya tampil sebagai model penanganan bencana yang progresif. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Darlis menyebut bahwa kelemahan utama terletak pada perencanaan dan pengawasan yang tidak konsisten, serta kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Ia menyoroti perlunya penataan ulang tata ruang kota yang lebih berpihak pada kelestarian lingkungan. Peningkatan kapasitas saluran drainase, perlindungan kawasan resapan air, serta penindakan tegas terhadap praktik pertambangan yang merusak ekosistem, menjadi poin-poin penting yang menurutnya harus segera diwujudkan.
“Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan bantuan darurat. Pemerintah harus mengubah pendekatan. Penanganan banjir harus dilakukan secara sistematis, mulai dari kawasan hulu hingga hilir, dengan langkah yang strategis dan terintegrasi,” tegasnya.
Meski Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda telah melakukan upaya evakuasi dan distribusi bantuan, kondisi warga yang terdampak masih belum stabil. Banyak keluarga masih bertahan di rumah-rumah yang terendam air, tanpa kepastian mengenai kapan situasi akan kembali normal.
Menurut Darlis, akar persoalan terletak pada minimnya komitmen politik yang kuat untuk melakukan pembenahan. Selama tidak ada keseriusan dalam membangun sistem perlindungan lingkungan yang kokoh, maka banjir akan menjadi bagian tak terpisahkan dari wajah kota ini.
“Kalau kita terus diam dan hanya sibuk saat bencana datang, maka Samarinda akan dikenal bukan karena keberhasilannya, tetapi karena banjirnya yang tak kunjung usai. Ini seharusnya menjadi alarm yang menggugah semua pihak,” pungkas Darlis dengan nada prihatin.