Insitekaltim,Kutai Timur – Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim Akmal Malik mengungkapkan kekagumannya terhadap seni budaya Kutai Timur.
“Seni budaya Wehea ini luar biasa. Harus terus kita lestarikan,” puji Akmal pada Sabtu, (20/4/2024) di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur saat menghadiri puncak acara Pesta Adat dan Budaya Wehea Lom Plai.
Akmal bersama Bupati Kutai Timur Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman dan rombongan berkesempatan langsung menghadiri dan mengikuti acara tersebut dengan melihat berbagai kesenian yang ditampilkan.
Sebagai informasi Lom Plai merupakan pesta syukur panen padi yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat Wehea setiap tahun.
Saat di Desa Nehas Liah Bing, Pj Gubernur Akmal Malik disambut ritual adat oleh tokoh adat Wehea kemudian bergegas mengikuti kegiatan Tiaq Diaq Jengea.
Tiaq Diaq Jengea merupakan ritual turunnya warga ke pondok darurat di tepi Sungai Wahau. Ritual ini memiliki makna pembersihan kampung oleh para perempuan adat Wehea. Ritual pembersihan kampung ini disebut Embos Min.
Embos Min dimaksudkan untuk membuang segala kesialan dan kejahatan yang ada di dalam kampung.
Acara ini merupakan kegiatan gabungan dari 6 desa yakni Desa Liaq Leway, Desa Bea Nehas, Desa Nehas Liang Bing, Desa Long Wehea, Desa Diaq Lay dan Desa Dea Beq.
Sejak 15 Maret 2024 lalu, masyarakat dari beberapa desa tersebut mengikuti berbagai lomba digelar antara lain lomba menari, lomba menumbuk padi, lomba kesenian dan lainnya.
Selain perlombaan, terdapat pula pertunjukan yang ditampilkan oleh pemuda-pemudi desa. Pertunjukan pertama yang disaksikan Akmal Malik adalah pertunjukan sungai atau Seksiang yang diartikan sebagai tiruan perang-perangan pada zaman dahulu yang dilakukan di atas air atau sungai dengan tombak weheang. Tombak weheang dalam bahasa Wehea adalah rumput gajah yang pada bagian ujungnya telah ditumpulkan. Permainan dilakukan sambil menunggu Embos Min selesai. Para pemain memakai beberapa perahu menuju ke hulu sungai dan akan sambil hanyut mengikuti arus air sungai. Mereka saling menombak hingga hilir kampung.
Meski indah dipandang, pertunjukan ini memiliki beberapa aturan yang harus dipatuhi dari seni perang di sungai ini. Antara lain lawan yang jaraknya dekat tidak boleh ditombak. Begitu juga saat lawan dalam posisi membelakangi atau karam.
Setelah menyaksikan pertunjukan di Sungai Wahau, Pj Gubernur Akmal Malik juga mendatangi Eweang Puen atau rumah adat besar yang berada di hilir kampung untuk menyaksikan ritual adat Mengsaq Pang Tung Eleang. Mengsaq Pang Tung Eleang merupakan ritual yang menjadi penanda bahwa masyarakat sudah boleh Bea Mai Min atau naik ke kampung dari jengea (pondok darurat).
Proses ritual Mengsaq Pang Tung Eleang yaitu seorang ketua adat akan disiram oleh seorang gadis, kemudian ketua adat mendahului naik dan akan diikuti oleh masyarakat.
Setelah itu acara dilanjutkan dengan Pengsaq dan Peknai. Pengsaq artinya siram-siraman dan Peknai artinya pemberian arang di wajah. Orang-orang yang disirami dan diberi arang diwajahnya tidak boleh marah. Ada pun aturan dalam pengsaq dan Peknai adalah tidak boleh menyirami atau memberi arang pada wajah orang yang memiiki bayi atau memberi arang pada wajah orang yang sakit.
“Saya sarankan setiap penyelenggaraan, kita juga mengundang wisatawan mancanegara dan berbaur dengan budaya lain agar lebih meriah dan lebih dikenal,” imbuhnya.
Pesta Adat Lom Plai saat ini sudah menjadi salah satu kegiatan yang tercatat dalam Kharisma Event Nusantara.
Acara juga dihadiri Staf Ahli Bidang Pengembangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Masruroh, Wakil Bupati Kutai Timur Kasmidi Bulang, Kepala Adat Adat Desa Nehas Liah Bing Liedjie Taq dan para tokoh adat Wehea.